Sengketa Hak Asuh Anak dan Kesetaraan Gender
Oleh: Drs.H. Asmu’i, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)
IBU itu tentu masyghul dengan putusan pengadilan yang menetapkan hak asuh anak untuk suaminya. Mengapa? Dua orang anak yang ingin diasuhnya itu semua masih belum “mbeneh” (Jawa) atau yang lazim disebut belum mumayyiz. Mumayyiz adalah status hukum yang biasa diberikan para fuqaha untuk menyebut seorang anak yang sudah bisa membedakan sesuatu yang baik dan yang buruk. Dalam syariat Islam mumayyiz digunakan sebagai salah satu syarat sah dalam beribadah, baik salat puasa maupun lainnya. Menurut Syaikh Mushtafa Ahmad Az-Zarqa’ (1904-1999), seorang Ulama Syiria, mumayyiz adalah masa setelah periode “thufulah”, sebelum menuju baligh. (Republika.co.id 24 Meret 2016)
Terlepas mengenai adanya wacana tentang mumayyiz, sang ibu itu sebelumnya tampaknya sangat optimis bahwa hak asuh jatuh ke pangkuannya. Rasa optimisnya bukan tanpa alasan. Sejumlah pasal-pasal aturan yang ia baca mengenai seluk beluk hak asuh anak ini dengan tegas ‘mendukungnya’. Dalam kondisi anak demikian, memang ada sejumlah pasal mengenai siapa yang berhak mengasuh anak ini, setelah suam istri melakukan perceraian. Pasal 105 ayat huruf (a) Kompilasi Hukum Islam: “Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.”
Selengkapnya KLIK DISINI